Senin, 02 April 2012

Puisi-Puisi Goenawan Maryanto



KUTUKAN SRENGGI

Ponselku kini sepi. Tak ada sms yang menggetarkan lagi.
Pagi ini aku merapal kembali kalimat lawas itu. Tak perlu
kau mengutuk kesepianku, Srenggi. Menara setinggi apa
lagi yang musti kubangun. Ia bisa sembunyi --selalu--
pada sesuatu yang paling dekat denganmu. Sesuatu yang
paling tak kau kira. Sesuatu yang paling kau cinta. Di
sanalah kesepian bermula. Bagai ular kecil yang akan
mencokot lehermu. Dan segera: kamu bukan apa-apa

Jogja, 2010

SEPASANG ARCA

seketika kita menjelma arca
berpelukan di tengah gunung
menunggu peziarah
yang datang tak tentu

kita tak bergerak ke mana pun
sementara tahun
ajek menggugurkan daun-daun

jalan sudah kadung kau lipat rapi
dan bakar di sebuah malam
masa depan tinggal asap
yang sekejap hilang
muksa dibawa lari angin

jadi di sinilah kita
meminta waktu
menebalkan kulit
dengan lumut dan debu

Jogja, 2012

  
MUSTAKAWENI

ia memutuskan menyamar menjadi lelaki
--dengan sayap tumbuh di punggungnya
tak lupa ia pasang bintang di dadanya
menutup sepasang payudara yang menggoda

sebelum berangkat ia berkaca mematut tubuh
dan menyadari kumis belumlah tumbuh
di atas bibirnya yang merah jambu

tergesa ia oleskan minyak kelapa
pada belati dan dibakarnya menjadi telaga

kini kumis yang tebal hitam berkilat
sudah melintang dengan garang
di atas bibirnya yang merah jambu

saatnya terbang membalas seluruh kehilangan
menang atau kalah biarlah dalang yang mengabarkan
ia hanya perlu menjaga kumisnya tak luntur oleh hujan

Jogja, 2011

SELO BLEKITHI

puisi ini kecil saja
seperti semut yang berarak
melintasi punggung
batu-batu gunung
tapi seluruh dalang akan merapalnya
di tengah malam
menjelang hari pemberangkatan itu
dan saat rampogan itu bergetar di layar
kita tahu, diam-diam, siapa yang sesungguhnya bergetar
tak penting lagi siapa kalah siapa menang
barisan rapi semut itu bergerak tenang
menuju dadamu yang lengang
tambur perang hanyalah lagu sedih di kejauhan
terdengar sesekali. pun lirih sekali

Jogja, 2011


SAMADI

Berdiam di rumahmu
seperti berdiam di dalam tubuhmu
(Sesepi inikah kamu)
Angin mati di beranda
terguling bersama kucing-kucing
Waktunya merayap di dinding
melahapnya menjadi kenangan
Berkeping-keping
Dan aku cuma Ciptoning

Sendirian aku berkelana
menyusuri ruang-ruanng tubuhmu
membaca benda-benda
yang tumbuh di sana
(Jadi begini kamu menata sepi?)
Bunga-bunga kaca di ruang tamu
sedikit memantulkan cahaya lampu
gerabah kasongan menyimpan
kedinginanmu,  boneka-boneka rusia
beranak pinak diam-diam, botol
botol kaca beraneka warna berisi air
matamu, patung-patung bintang dari
keramik berjajar menjaga
kesedihanmu, dan sejumlah foto
yang berusaha mengabadikan
peristiwa

Inilah rumahmu yang demikian kamu cintai
Seperti kamu mencintai tubuhmu sendiri
yang menyimpan bau hutan Dandaka
di mana Rama mengejar Kijang Kencana

Kini aku beraa di sana
Duduk di tempat kamu duduk
Menepi di tempat kamu menepi
Menangis di mana kamu biasa menangis

Jogja, 2011


ADANINGGAR

seberapa kuat kau menolak cintaku
--yang membuatku terbang melayang
melintasi laut dan misterinya

kecantikan macam apa yang kau butuhkan
saat sudah kupasrahkan seluruh tubuhku
pada perjalanan dan setiap kemungkinan
bernama dirimu

selendangku adalah pusakaku: talikentular
ia sanggup mengikatmu
juga menjerat leherku

dalam kabut yang terbuat dari nafasmu
aku tak tahu lagi saat yang tepat
untuk berhenti mencintaimu

jadi seberapa kuat kau menolak cintaku
sebesar itulah cintaku kepadamu

Jogja, 2012


SINDEN

suaramu menggambar rumah
yang inggin sekali kutinggali
(seratus meter persegi
dengan taman kecil tersembunyi
di bawah sebuah jendela)

suaramu—yang terkumpul
dari sejumlah museum sepi
yang kerap kau singgahi –
tiba-tiba hadir serupa kartu pos
dari kawan lama

aku seperti pernah mendengar suaramu, dulu
saat demam kebanyakan bermain hujan
aku seperti pernah mendengar suaramu, dulu
di sebuah pertunjukan wayang

kini sepanjang malam suaramu duduk simpuh
di antara tukang gender dan tukang kendang
matanya menatap tajam punggungku
seperti membaca cerita yang akan kutulis
hingga kita jatuh tertidur pada sebuah subuh

Jogja, 2012

(Kompas,  1 April 2012)



Puisi-Puisi Iyut Fitra



PERCINTAAN HULU DAN MUARA

jangan pernah kau ragukan. ini bukan sajak terakhirku, kekasih
sebagaimana hulu. ia selalu menyimpan rindu pada muara
sebuah pertemuan yang tak pernah. hanya tumpukan dari gelisah
lalu desir air. potongan-potongan ranting yang tersangkut
“sampaikan salam pada muara. aku hulu yang berkabung rindu!”
demikianlah senantiasa ia nyanyikan di senja-senja lembab
juga taring waktu yang runcing

kisah apa yang tak kuceritakan kepadamu. meski parasmu samar
dan aku hanya melukismu di tebing-tebing batu
kubayangkan seekor belibis putih membasuh paruhnya di tepi sungai
ikan-ikan menggoda. hari begitu saja menjadi penjadi petang
“bukan. aku hanya akar tua yang lapuk direndam musim!”
sesungguhnya suara yang tak ingin kudengar. kau akan berlari
di antara ilalang dan batang-batang

sajak ini akan terus kukirim untukmu, kekasih
meski ceritanya selalu saja tentang perih

Payakumbuh

PENUMPANG

bukan tentang lengang. tapi perihal yang membuat mimpi terbelah
sebagaimana burung-burung seolah terusir karena pohon tinggal
canggah-canggah patah. maka berangkatlah!
jika tanah tinggal telah menggali kubur untukmu. dan kebun-kebun
kau tanam tak pernah berbuah. titipkan saja perpisahan pada tepian
bukankah pergi adalah gelang yang melekat di tangan lelaki

lalu berbondong-bondong lelaki pun pergi. memesan keberangkatan
menciptakan rantau atau tujuan. simpang-simpang, kedai kopi, stasiun,
juga terminal tengah malam. berangkatlah! sebagai penumpang
lupakan ayunan kanak-kanak yang masih tersimpan. lupakan musim kering
dan lapar yang liar. lupakan juga sengketa tapal-tapal. lupakan!
semakin jauh langkah terayun pergi semakin berarti seorang lelaki

bukan tentang lengang. tapi rantau telah dibangun dalam diri
dan mereka yang berangkat, adakah yang memesan tiket untuk kembali

Payakumbuh, Januari, 2011

PENARI PIRING

aku telah datang sebelum jemari di sembahkan. mulai talempong
serta tambur yang diguguh di hampar kaca-kaca ruruh
kusambut senyum jambu muda sewarna baju kurung itu. menarilah!
sebelum malam jadi. dan puput batang padi yang kita sebut serunai
bertingkah berubah lengang. menarilah!
di panggung waktu yang terburu. cawan gelisah yang tersimpan di rumah
hentakan segala sampai derai.o, menarilah!

malam lalu
waktu begitu laju

cicin gemeretak di antara kaki yang menghentak
lingkaran usia. langit luas kehidupan
dari panggung ke panggung kampung halaman diusung
elok-elok manjek kemauniang, jang sampai dahannyo patah
elok-elok menari piriang, jang sampai piriangnyo pacah
dan di puncak ketika kaca-kaca berhamburan. saat dua piring pecah
ada luka yang tak bisa ia ceritakan

Payakumbuh, Juni 2011

(Koran Tempo, 1 April 2012)