Senin, 02 April 2012

Puisi-Puisi Goenawan Maryanto



KUTUKAN SRENGGI

Ponselku kini sepi. Tak ada sms yang menggetarkan lagi.
Pagi ini aku merapal kembali kalimat lawas itu. Tak perlu
kau mengutuk kesepianku, Srenggi. Menara setinggi apa
lagi yang musti kubangun. Ia bisa sembunyi --selalu--
pada sesuatu yang paling dekat denganmu. Sesuatu yang
paling tak kau kira. Sesuatu yang paling kau cinta. Di
sanalah kesepian bermula. Bagai ular kecil yang akan
mencokot lehermu. Dan segera: kamu bukan apa-apa

Jogja, 2010

SEPASANG ARCA

seketika kita menjelma arca
berpelukan di tengah gunung
menunggu peziarah
yang datang tak tentu

kita tak bergerak ke mana pun
sementara tahun
ajek menggugurkan daun-daun

jalan sudah kadung kau lipat rapi
dan bakar di sebuah malam
masa depan tinggal asap
yang sekejap hilang
muksa dibawa lari angin

jadi di sinilah kita
meminta waktu
menebalkan kulit
dengan lumut dan debu

Jogja, 2012

  
MUSTAKAWENI

ia memutuskan menyamar menjadi lelaki
--dengan sayap tumbuh di punggungnya
tak lupa ia pasang bintang di dadanya
menutup sepasang payudara yang menggoda

sebelum berangkat ia berkaca mematut tubuh
dan menyadari kumis belumlah tumbuh
di atas bibirnya yang merah jambu

tergesa ia oleskan minyak kelapa
pada belati dan dibakarnya menjadi telaga

kini kumis yang tebal hitam berkilat
sudah melintang dengan garang
di atas bibirnya yang merah jambu

saatnya terbang membalas seluruh kehilangan
menang atau kalah biarlah dalang yang mengabarkan
ia hanya perlu menjaga kumisnya tak luntur oleh hujan

Jogja, 2011

SELO BLEKITHI

puisi ini kecil saja
seperti semut yang berarak
melintasi punggung
batu-batu gunung
tapi seluruh dalang akan merapalnya
di tengah malam
menjelang hari pemberangkatan itu
dan saat rampogan itu bergetar di layar
kita tahu, diam-diam, siapa yang sesungguhnya bergetar
tak penting lagi siapa kalah siapa menang
barisan rapi semut itu bergerak tenang
menuju dadamu yang lengang
tambur perang hanyalah lagu sedih di kejauhan
terdengar sesekali. pun lirih sekali

Jogja, 2011


SAMADI

Berdiam di rumahmu
seperti berdiam di dalam tubuhmu
(Sesepi inikah kamu)
Angin mati di beranda
terguling bersama kucing-kucing
Waktunya merayap di dinding
melahapnya menjadi kenangan
Berkeping-keping
Dan aku cuma Ciptoning

Sendirian aku berkelana
menyusuri ruang-ruanng tubuhmu
membaca benda-benda
yang tumbuh di sana
(Jadi begini kamu menata sepi?)
Bunga-bunga kaca di ruang tamu
sedikit memantulkan cahaya lampu
gerabah kasongan menyimpan
kedinginanmu,  boneka-boneka rusia
beranak pinak diam-diam, botol
botol kaca beraneka warna berisi air
matamu, patung-patung bintang dari
keramik berjajar menjaga
kesedihanmu, dan sejumlah foto
yang berusaha mengabadikan
peristiwa

Inilah rumahmu yang demikian kamu cintai
Seperti kamu mencintai tubuhmu sendiri
yang menyimpan bau hutan Dandaka
di mana Rama mengejar Kijang Kencana

Kini aku beraa di sana
Duduk di tempat kamu duduk
Menepi di tempat kamu menepi
Menangis di mana kamu biasa menangis

Jogja, 2011


ADANINGGAR

seberapa kuat kau menolak cintaku
--yang membuatku terbang melayang
melintasi laut dan misterinya

kecantikan macam apa yang kau butuhkan
saat sudah kupasrahkan seluruh tubuhku
pada perjalanan dan setiap kemungkinan
bernama dirimu

selendangku adalah pusakaku: talikentular
ia sanggup mengikatmu
juga menjerat leherku

dalam kabut yang terbuat dari nafasmu
aku tak tahu lagi saat yang tepat
untuk berhenti mencintaimu

jadi seberapa kuat kau menolak cintaku
sebesar itulah cintaku kepadamu

Jogja, 2012


SINDEN

suaramu menggambar rumah
yang inggin sekali kutinggali
(seratus meter persegi
dengan taman kecil tersembunyi
di bawah sebuah jendela)

suaramu—yang terkumpul
dari sejumlah museum sepi
yang kerap kau singgahi –
tiba-tiba hadir serupa kartu pos
dari kawan lama

aku seperti pernah mendengar suaramu, dulu
saat demam kebanyakan bermain hujan
aku seperti pernah mendengar suaramu, dulu
di sebuah pertunjukan wayang

kini sepanjang malam suaramu duduk simpuh
di antara tukang gender dan tukang kendang
matanya menatap tajam punggungku
seperti membaca cerita yang akan kutulis
hingga kita jatuh tertidur pada sebuah subuh

Jogja, 2012

(Kompas,  1 April 2012)



Puisi-Puisi Iyut Fitra



PERCINTAAN HULU DAN MUARA

jangan pernah kau ragukan. ini bukan sajak terakhirku, kekasih
sebagaimana hulu. ia selalu menyimpan rindu pada muara
sebuah pertemuan yang tak pernah. hanya tumpukan dari gelisah
lalu desir air. potongan-potongan ranting yang tersangkut
“sampaikan salam pada muara. aku hulu yang berkabung rindu!”
demikianlah senantiasa ia nyanyikan di senja-senja lembab
juga taring waktu yang runcing

kisah apa yang tak kuceritakan kepadamu. meski parasmu samar
dan aku hanya melukismu di tebing-tebing batu
kubayangkan seekor belibis putih membasuh paruhnya di tepi sungai
ikan-ikan menggoda. hari begitu saja menjadi penjadi petang
“bukan. aku hanya akar tua yang lapuk direndam musim!”
sesungguhnya suara yang tak ingin kudengar. kau akan berlari
di antara ilalang dan batang-batang

sajak ini akan terus kukirim untukmu, kekasih
meski ceritanya selalu saja tentang perih

Payakumbuh

PENUMPANG

bukan tentang lengang. tapi perihal yang membuat mimpi terbelah
sebagaimana burung-burung seolah terusir karena pohon tinggal
canggah-canggah patah. maka berangkatlah!
jika tanah tinggal telah menggali kubur untukmu. dan kebun-kebun
kau tanam tak pernah berbuah. titipkan saja perpisahan pada tepian
bukankah pergi adalah gelang yang melekat di tangan lelaki

lalu berbondong-bondong lelaki pun pergi. memesan keberangkatan
menciptakan rantau atau tujuan. simpang-simpang, kedai kopi, stasiun,
juga terminal tengah malam. berangkatlah! sebagai penumpang
lupakan ayunan kanak-kanak yang masih tersimpan. lupakan musim kering
dan lapar yang liar. lupakan juga sengketa tapal-tapal. lupakan!
semakin jauh langkah terayun pergi semakin berarti seorang lelaki

bukan tentang lengang. tapi rantau telah dibangun dalam diri
dan mereka yang berangkat, adakah yang memesan tiket untuk kembali

Payakumbuh, Januari, 2011

PENARI PIRING

aku telah datang sebelum jemari di sembahkan. mulai talempong
serta tambur yang diguguh di hampar kaca-kaca ruruh
kusambut senyum jambu muda sewarna baju kurung itu. menarilah!
sebelum malam jadi. dan puput batang padi yang kita sebut serunai
bertingkah berubah lengang. menarilah!
di panggung waktu yang terburu. cawan gelisah yang tersimpan di rumah
hentakan segala sampai derai.o, menarilah!

malam lalu
waktu begitu laju

cicin gemeretak di antara kaki yang menghentak
lingkaran usia. langit luas kehidupan
dari panggung ke panggung kampung halaman diusung
elok-elok manjek kemauniang, jang sampai dahannyo patah
elok-elok menari piriang, jang sampai piriangnyo pacah
dan di puncak ketika kaca-kaca berhamburan. saat dua piring pecah
ada luka yang tak bisa ia ceritakan

Payakumbuh, Juni 2011

(Koran Tempo, 1 April 2012)

Senin, 26 Maret 2012

Puisi-Puisi Afrizal Malna





TAK ADA ARTINYA

Gema suaranya kembali lagi membuat dinding bunyi
Dari suaranya
Berdiri melingkar
Di depan bulatan penuh perangkap waktu
Jari-jari yang menggenggam tikus
Dan perangkapnya di belakang membuat makan malam
Seperti bayangan yang meninggalkan betuknya
Memecah, tertawa, kisah-kisah perang yang
Dimuntahkan kembali dari ketakutannya
Cermin yang menjadi buta ketika melihat
Diding di dalamnya
Dan selembar rambut di atas koran pagi
Air yang menyebrang di atas jembatan
Melintasi sungai
Melintasi tetesannya
Tanpa prasangka di hadapan daun kering yang
Menyimpahn gema dari
Hutannya

TAMU MISTERIUS

Sayang sekali puisi ini telah dihapus ketika aku akan
membacanya. Seperti udara lembab yang menarik lenganku
untuk memegang yang akan jatuh. Ada apa dengan menghapus?
Lem, gunting, benang yang membuat bayangan tentang kawat
berduri. Aku menghapus kata hapus dari dokumentasi, seperti
keluar dari kawat berduri itu. kembali ke lem, gunting, benang
dari setiap kata untuk menyembunyikannya, menghilangkan dan
menghapusnya sekali lagi. Dan sebuah ketukan tak pernah
terhapus

Tamu itu menduga aku tidak memiliki kursi untuk mati, jika
tidak memiliki lantai untuk hidup. Menunggu. Ditunggu. Janji
jam tujuh malam. Ia suguhkan kata penghapus dari sebuah toko
buku kepada tamunya, seperti bayangan yang terlepas dari
tempatnya. Kamu tamuku yang aku tunggu dari kesalahan
mengetik kata hapus dari sebuah cerita tentang pagi hari
yang cerah. Kau sudah tidak sempat lagi merapikan yang tidak
bisa lagi dihapus, setelah puisi ini. penghapusnya membuat jam
5 sore, tembus hingga tak terlihat lagi kekosongannya



SURAT DARI BIJI KOPI

Bau kopi keluar dari napasnya, seperti jalan lurus yang
bagian belakangnya menghilang. Ia duduk di bagian
belakang dari bau kopi itu. Biji-biji kopi itu membuatnya
Ingin bergerak, antara air yang mendidih dan suhu
yang tak terukur dalam pikirannya. Bau kopi ini untukmu
Menangis, dan membiarkan kenangan membuat bingkai
bingkainya sendiri pada sisa kopi di dasar cangkirnya. Dan
ia kembali duduk di bagian belakang bau kopi, sisa hangat
antara pahit dan manis di lidahnya. “Cinta”, dia seperti
ingin jatuh, telungkup dan menggenggam semua yang
berjatuhan dari biji-biji kopi. Kapal-kapal yang bergerak
sendiri mencari bau kopi, kuburan petani kopi, cerita yang
saling mengunjungi dan menghapus pasir di pantai. Bau itu
mengikatnya lebih dalam dari semua yang mengabur di
depannya, dari semua yang menghilang di belakangnya

MENGGODA TUJUH KUPU-KUPU

Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur. orang di sini membawa beban berat. bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur.
Kita sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk
mengisinya kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata
tidur. Aku tidak berjalan dengan mata melek dan tidak
mengukur yang terlihat. Kau latihan yoga dan menjadi tujuh
kupu-kupu. Aku melihat kau terbang dan tidak bisa ikut masuk
ke dalam kupu-kupumu. Keadaan seperti gas padat dalam lemari
es. Tetapi tidak ada ledakan. Aku tidak mendengar suara
ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup menjadi mudah karena
memang hidup sudah tidak ada. menjadi benar oleh
kebohongan-kebohongan. Menjadi indah oleh kerusakan
kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar terbangmu.
Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan sayapnya
dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama dengan
rute sungai marne yang membelah mimpi-mimpimu




 PROSES LETUPAN KAPUR SIRIH

Batu kapur sirih mulai direndam dengan air. Bentuk
bentuknya yang seperti batu karang itu mulai
mengeluarkan asap dalam genangan airnya, dan genangan
uap di atasnya. Bentuk-bentuknya mulai luruh, seperti
bukit-bukit melelah dan letupan-letupannya. Akan muncul
permukaan kapur yang sudah berubah menjadi lumpur
putih dan lembutnya yang panas. Lumpur kapur dalam
gelembung-gelembung berasap, suara mendidih dan
letupanya menggenggam uap panas hingga ke ujung
lidahku. Seperti akan nada yang meledak dalam lumpur
kapur itu, dan mengusir bayangan hitam dari letupannya.
Proses ini akan berhenti dan seluruh batu kapur berubah
menjadi lumpur kapur putih kental. Uapnya menatap
dinding-dinding bayangan hitam. Tangan dan kakiku
menggenggam letupan-letupan uapnya. Dan lidah yang tertelan
bayangan hitam.kapur ini panas. Kulit jari-jari tangan
biasanya akan melepuh. Rasa perih dari kulit yang
mengelupas, mengeluarkan kutu-kutu yang mati di
dalamnya. Melepaskan jiwa yang tak bisa lagi terharu,
yang terlalu percaya kepada ketukan pintu dan
membisukan dering telfon. Proses yang menggodaku untuk
mengangkat kamar tidur dan meletakkannya dalam amplop
surat bersegel. Pekerjaan yang rasanya tidak ada gunanya,
tetapi aku melihat proses letupannya ketika melepaskan
tekanan udara panas. Mulut puisi yang memuntahkan
percakapan tentang kepergian. Kamar tidur yang
menyimpan bayangan tentang pelukan dan terhisap letupan
kapur sirih. Satu botol bayangan pintu. Satu botol kapur
sirih. Keduanya mengecat mimpiku menjadi sebelum
bermimpi   


(Koran Tempo, 25 Maret 2012)



Puisi Taufik Ikram Jamil




KEPADA JAWA

mungkin kita jumpa lagi pada malam empat persegi
langsung saja bersalin terang dalam bayang
di antara remang-remang bumbung melayang
di samping embun menjingjing dingin
sambil melupakan rama dan sinta
yang berpagut peluk entah di mana
dan mengacuhkan kurawa maupun pundawa
saling berebutan entah untuk apa
betapapun kalimasada kita tatap
dengan seluruh pinta dan segenap harap

saya selalu rindu padamu katamu saat sua itu kelak
tapi engkau menjawabnya dengan kleningan gamelan
hingga aku terpancing untuk menjadi dalang
menghabiskan cerita ke puncak angin
kemudian melesat dalam lirik sinden
yang pada gilirannya meliuk dalam serimpi
dengan getar yang lebih besar dari merapi

sungguh ingin kusaksikan lagi
saat kau bentangkan rambutmu di pantai selatan
sedangkan kakimu di banyuwangi
dengan tangan terkulai di ujungkulon
bengawan solo melilit pinggangmu ramping
jemput aku bermain alun di muaranya

dan bagaikan homo erectus paleojavanicus
sekelip mata mengembara sampai eropa
tapi kau memangilku sebagai arjuna
dengan panah asmara yang sudah memiliki tuju

sempat lama bertatapan di dataran dieng
dengan ketinggian yang tak terpahami
menjadikan kita jadi begitu gelisah
lalu kuhumban pandangan ke kawah bromo
tapi kau mengiringinya dengan lengking
karena khawatir seperti gatotkaca
resah kita akan bertulang baja berkulit besi
kokoh bagai borobudur dan kalasan sekaligus
lalu dengan gusar kau lari menghindar
hinggap tersingkap betismu pada bunting
yang jangan-jangan membuat iri dewi sri
untunglah aku sadar bahwa engkau bukan ken dedes
dan aku tak pula ken arok dengan dada membidang
kita akan terkenang babad tanah jawi
bergenggam ingat antara carik braja dengan adilangu
biarkan hj de graaf menggapai lupa
menadah serat pramono sidhi dengan hampa
ketika kala demi kala berlepas pergi
sebelum akhirnya kita sama-sama manangisi dara petak
sebab oleh kisah salah yang tak sudah-sudah
menjadi lahar yang dipendam empat puluh kepundan
dijinakkan laku berpuluh ribu tahun mengeram

di jepara yang kusebut kalingga kita berjumpa kelak
bukan hanya karena di sana sempat dipesan keranda
bagi raja ali haji yang berimbang nyawa di usia belia
tapi tempat pertama sua kitalah yang menjadi sebabnya
tanpa mengurangi rasa takzim kepada gersik dan tuban
menerima utusan khalifah usman dengan gempita
agar dapat menyadari diri sebagai manusia
sehingga mampu memahami makna syukur tanpa ukur
dan begitulah selanjutnya nafas terhela ke tanah aceh
di pajang dan demak dan mataram sampai tidore bertukar ukir
kemudian memenuhi armada pati unus mara ke Melaka
bahkan terhadap fatahillah dan ratu kalinyamat
disamping menyelinap dalam kitab-kitab kuning
menjadi santri bagi harga diri
juga meregang kekang kuda diponegoro
sebelum tiba saatnya mematut lidah di serantau riau
sampai menggiring soekarno-hatta di rengasdengklok
pun tak serak suara bersama bung tomo

betapa cepat waktu pergi
sementara datang bukan bagian dari dirinya


(Kompas, 25 Maret 2012)








Puisi-Puisi Dody Kristianto




PERIHAL KALAH TARUNG

Bagaimana bila jurus dan siasatmu yang paling
ampuh tak mampu meredakan ia? Memindah ia
dari berdirinya

            atau jika belukar dan bebatang tinggi menampik
             menjagamu, menyamarkanmu dari tatapnnya
                                   yang berjaga

tentu kamu lebih menunggu guntur di langit
bertandang dan menyambar ia yang masih
memainkan jurus yang tak mampu kamu elakkan.

Kamu yang telah memainkan segala senjata,
yang menampakkan itikad menyentuh bagian
jantungnya. Semua muslihatmu telah ia kira,
telah ia hitung sampai pada tusukan pedangmu
yang terhalus.

            Tentu ia lebih banyak mendaras kitab dibanding
kamu yang hanya sebatas mengeja

Maka, biar jurusnya menghampirimu. Pasrah saja
pada gerak di depan mata. Namun, amati segala
laku yang disimpan tinju itu. kamu tentu tak
menduga bila tinjunnya melepas bayangan yang
berniat meninggalkan jejak memar pada dadamu.

Atau bila tiba-tiba telapak itu berwujud pedang,
menyentuh dan meninggalkan sayatan atau irisan
pada kulitmu.

Semua lagak lagamnya tentu kamu simpan dalam
kenangan. Kelak, kamu berharap akan berjumpa
lagi dengannya. Mengembalikan segala memar
dan luka yang ia tinggalkan.

Tentu kamu harus teguh mengucap doa agar
jurus termahirnya tidak menyentuh tubuh
dalammu dan membalikmu menuju tanah basah
yang tak pernah kamu rasa.

            Bila demikian, kamu tentu mengucap selamat
tinggal bukan ?

2012


MELATIH PUKULAN KIDAL

Bukan ada sopan itu
yang kamu cemaskan benar bukan
tapi bagaimana yang tak imbang ini
kini sejalan

Selaras dalam gerak, menyatu dalam sajak
hingga yang terlihat ialah sepasang hantam
paling rancak

Kuatkanlah, sebagaimana kamu mengenali
tangan kananmu yang sanggup memecah batu

Pertama
bila mampu keraskan ia
hingga sebuah martil atau bebatu
yang jatuh dari langit lain
tak sanggup menggoyang keteguhannya

Kedua
ia sungguh perlu lemas
ia perlu mengambang namun mematikan
ia perlu mengenal bagaimana ular yang tenang
sanggup melemahkan seekor macan

Ia perlu berguru ihwal keluwesan
pada dedaun yang sudah hilang hijaunya
dan tinggal menunggu waktu pulang ke tanah

2012

(Kompas, 25 Maret 2012)







Minggu, 18 Maret 2012

Puisi-Puisi Esha Tegar Putra



GAMBANG TANAH KONGSI

Tiga onggok biji cubadak dengan tiga tali uang di balik
sempak akan kita tukar sekali sepekan di Tanah Kongsi.
Sekali sepekan itu aku tinjau mata sipitmu, mata dengan
genangan air perasaian dan hamburan sisik ikan, mata
dengan tujuh lapis mantera yang bikin seorang khatib
terkapar di pelataran surau.

Aku senang dengar musik gambang dari gelombang radio
di balik tumpukan sayur pucuk ubi itu. Ingatkan aku pada
malam tahun baru lalu, malam merah marun, malam dengan
lagu hujan turun, serta garik angin yang bikin buah rambutan
jatuh beruntun. Isi dadaku benar-benar tumpas di gerak
udara yang segairah lenguh kuda di musim kawin itu.

“Aku beli cabe, sayur, atau mata sipit itu. Adakah dijual
seharga tiga tali, atau bisa ditukar-tambah dengan puisi?“
Aku tahu sekali sepekanku serupa getar pisau di tangan
si tukang daging baru, getar punggung si tukang panggul
tua, getar bibir si buta penjual doa. Sekali sepekanku adalah
kasmaran berulang, dengan penolakan yang juga berulang.

2012




KASMARAN PARA LINGUIS

Tiga pohon angsana tumbang sehabis hujan,
cinta kita.

Sepuntalan benang kusut sebelum disulam,
cinta kita.

Bara padam setelah tungku retak kuali hangus,
cinta kita.

Hujan jatuh, mumbang jatuh, segala yang jatuh,
semua disebut cinta kita.

Dan bahasa, kasmaran kita adalah bahasa gila. Kau
kata, aku frasa dalam separuh sajak mati sebelum
didendangkan jadi prosa. Dalam seluruh sajak mati
setelah terhisap pelan di gelitik jari pemain harpa.

Dan bahasa, kasmaran kita adalah telaah buta pada
gerak orang berjoged lagu Korea, makna kesakitan
kerampang tokoh laga film Cina, serta tafsir nama
hantu dalam cerita mistik di negeri para penghiba.

2012

RUSLI, DAN GADIS PASAMAN
Yang namanya cinta, kata orang tua-tua kita
tak mesti ada kata tetapi. Tetapi hitam, akan diputihkan
juga. Tetapi tali sambungan putus, akan dibuhul lagi
tetapi hati panas, akan diangin-didinginkan juga.

“Gadis Pasaman pemetik buah asam itu, Rusli
ingin kuda jantan dengan asmara membahana.“

Tapi dalam cinta, sajak melulu jadi kalimat penutup pintu
yang dekat akan dijauhkan, yang jauh perlahan dilindapkan
hari tua dijadikan kasmaran dua punggung saling berpaling.

“Kuda jantan tua itu, Rusli. Meski beruk muda bersorak
sambil bergayut-bergelantungan di dahan kayu rimbun
kakinya tetap sigap melajang, getar betisnya menandakan
asmara yang berulang.“

2011-2012  


(Koran Tempo, 18 Maret 2012)

Sabtu, 17 Maret 2012

Puisi-Puisi Tia Setiadi

SI PENGUNJUNG FANA
                                      : Iman Budhi Santosa


/1/

Selalu kau bandingkan gang-gang sempit di Malioboro
Dengan centang perenang rute nasib di galur-galur telapak tanganmu

Engkaulah burung yang berakhir
Jauh dari rindang sarang dan kelepak sayap langit

Dengan lentera Diogenes kau mencari-cari manusia
Puluhan tahun menelusuri belantara kota-kota, sungai, gua-gua

Yang kau temukan cuma sajak-sajak semata wayang,
Rangka jung tua yang terdampar, dan guci retak dari si pengunjung fana

Karena jenuh dengan seluruh jalan, akhirnya kau berhenti
Dan menjelma bentangan jalan itu sendiri



/2/

Kau lemparkan dirimu kedalam rebakan air hayat yang bergetar
Menimbulkan lingkaran-lingkaran riak kehadiran yang tak berbatas

Berpotongan dan bersilangan melahirkan aneka ciptaan baru

Bila lingkaran-lingkaran itu diperbesar, ia akan seluas jagat raya
Bila lingkaran-lingkaran itu diperkecil, ia akan menjadi inti dirimu

Maka teluk yang menganga dalam rongga sajak-sajakmu
Menampung ledakan makna segala pengalaman dunia—

Bak seberkas bara air yang menyamudra



/3/

Telah kau sebrangi jembatan yang jauh
Melengkung dari dirimu menuju dirimu

Kini kau tinggal di sebuah kota tak berpenghuni
Di mana pasir-pasir waktu yang kau genggam mendadak berhamburan—

Bagaikan pulau-pulau di pelupuk mata

Hujan yang jatuh, memantulkan hujan yang lain
Lelangkahmu di jalan ini, menggaungkan lelangkahmu di jalan yang lain—

Ibarat rembulan yang merenungkan cahayanya sendiri

Tak terdengar hempasan suara apa pun
Selain nyanyian purba yang membersit dari kerajaan masa kecilmu

Kau memandang lewat sorot mata matahari
Hingga pandanganmu menerangi dan memenuhi seluruh ruang

Di kota ini kau aman dan tersembunyi dari dirimu sendiri
Seperti seekor merpati yang selamat dari sapuan banjir yang lain



/4/

Kesendirian yang bening dan megah
Telah tegak di sini sejak  permulaan kala

Seluruh kenangan berpendar bagai lampion-lampion malam
Engkau hanya memandangnya, tanpa tersentuh olehnya.

Ayunan air di antara pepohonan, halus dan hening,
Seperti melodi gerakan tangan dan kaki seorang bayi

Bak puisi yang kau rangkai dari batas-batas bahasa
Atas bawah, bolak balik, hingga membungkus seantero kota

Maka kota menjelma doa yang mekar
Merambati pohon awan



/5/

Jiwamu bermukim dalam jeda rahasia antara kata dan kata
Selengang kerlipan ruang  antara bintang dan bintang

Kehadiranmu ringan dan kokoh laksana selembar bulu gunung
Bertiup dari keluasan ke keluasan sayup

Seluruh jalan berkayuh menuju jalanmu
Yang keemasan dan biru, bak bentangan gelombang Jalan Langit

Di kota ini kau membangunkan hari kedua
Dari tenunan benang ganda: kehidupan dan kematian

Mungkin kota ini hanya muncul sekejapan dari rimbunan kabut
Sebelum kefanaan jatuh bagaikan malam yang jatuh.



KOLAM


/1/

kolam adalah jantung dunia
mentari, bukit,
                    langit
                     semuanya utuh

tersimpan
                      dalam
                                  bening

asalkan kau tak ada.


/2/

seekor unggas liar berenangan 
                                                      sendiri
lebih besar
                               dan lebih menjulang
       dari pohon atau gunung manapun

lihat saja:
   di sepasang bola matanya dunia naik
                                                   dan turun
di antara dua kakinya langit membelah
                                              dan mengecil

 sentakan
                 demi sentakan
                                            riak
                                                    demi riak
                                                  berkilauan

laksana jalan
mutiara

asalkan kau tak ada.


/3/

di kolam
               segalanya terjaga
tak ada yang menua

di kolam
             segalanya terbuka
bak jiwa rumputan

selalu berlimpahan
                            restuNya

asalkan kau tak ada.



/4/

tapi,
bila kau bersikeras datang
                               ke kolam itu
copotlah diri
                            dan tubuhmu

turunlah
                                            turun
masukilah dasar sumur waktu
turunlah
       turun
   masukilah jantung duniamu

biarkan dirimu terlahir
                                       kembali
di kuncup-kuncup cahaya
teratai
                         merekah merah
                           ataupun putih

dan menjadi beragam

bak suara kicauan
aneka  burung
hutan.



/5/

di kolam
kau menjelma benih
                     kembali

          ning
                     hening

seperti sepercik air

seperti janji


(Kompas, 18 Maret 2012)