TAK ADA
ARTINYA
Gema
suaranya kembali lagi membuat dinding bunyi
Dari
suaranya
Berdiri
melingkar
Di
depan bulatan penuh perangkap waktu
Jari-jari
yang menggenggam tikus
Dan
perangkapnya di belakang membuat makan malam
Seperti
bayangan yang meninggalkan betuknya
Memecah,
tertawa, kisah-kisah perang yang
Dimuntahkan
kembali dari ketakutannya
Cermin
yang menjadi buta ketika melihat
Diding
di dalamnya
Dan
selembar rambut di atas koran pagi
Air
yang menyebrang di atas jembatan
Melintasi
sungai
Melintasi
tetesannya
Tanpa
prasangka di hadapan daun kering yang
Menyimpahn
gema dari
Hutannya
TAMU
MISTERIUS
Sayang
sekali puisi ini telah dihapus ketika aku akan
membacanya.
Seperti udara lembab yang menarik lenganku
untuk
memegang yang akan jatuh. Ada apa dengan menghapus?
Lem,
gunting, benang yang membuat bayangan tentang kawat
berduri.
Aku menghapus kata hapus dari dokumentasi, seperti
keluar
dari kawat berduri itu. kembali ke lem, gunting, benang
dari
setiap kata untuk menyembunyikannya, menghilangkan dan
menghapusnya
sekali lagi. Dan sebuah ketukan tak pernah
terhapus
Tamu
itu menduga aku tidak memiliki kursi untuk mati, jika
tidak
memiliki lantai untuk hidup. Menunggu. Ditunggu. Janji
jam
tujuh malam. Ia suguhkan kata penghapus dari sebuah toko
buku
kepada tamunya, seperti bayangan yang terlepas dari
tempatnya.
Kamu tamuku yang aku tunggu dari kesalahan
mengetik
kata hapus dari sebuah cerita tentang pagi hari
yang
cerah. Kau sudah tidak sempat lagi merapikan yang tidak
bisa
lagi dihapus, setelah puisi ini. penghapusnya membuat jam
5
sore, tembus hingga tak terlihat lagi kekosongannya
SURAT
DARI BIJI KOPI
Bau
kopi keluar dari napasnya, seperti jalan lurus yang
bagian
belakangnya menghilang. Ia duduk di bagian
belakang
dari bau kopi itu. Biji-biji kopi itu membuatnya
Ingin
bergerak, antara air yang mendidih dan suhu
yang
tak terukur dalam pikirannya. Bau kopi ini untukmu
Menangis,
dan membiarkan kenangan membuat bingkai
bingkainya
sendiri pada sisa kopi di dasar cangkirnya. Dan
ia
kembali duduk di bagian belakang bau kopi, sisa hangat
antara
pahit dan manis di lidahnya. “Cinta”, dia seperti
ingin
jatuh, telungkup dan menggenggam semua yang
berjatuhan
dari biji-biji kopi. Kapal-kapal yang bergerak
sendiri
mencari bau kopi, kuburan petani kopi, cerita yang
saling
mengunjungi dan menghapus pasir di pantai. Bau itu
mengikatnya
lebih dalam dari semua yang mengabur di
depannya,
dari semua yang menghilang di belakangnya
MENGGODA
TUJUH KUPU-KUPU
Aku
tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur.
orang di sini membawa beban berat. bukan soal melihat.
Dalam
beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur.
Kita
sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk
mengisinya
kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata
tidur. Aku tidak berjalan dengan mata melek dan tidak
mengukur
yang terlihat. Kau latihan yoga dan menjadi tujuh
kupu-kupu.
Aku melihat kau terbang dan tidak bisa ikut masuk
ke
dalam kupu-kupumu. Keadaan seperti gas padat dalam lemari
es.
Tetapi tidak ada ledakan. Aku tidak mendengar suara
ledakan
dalam puisi ini. Di sini hidup menjadi mudah karena
memang
hidup sudah tidak ada. menjadi benar oleh
kebohongan-kebohongan.
Menjadi indah oleh kerusakan
kerusakannya.
Aku di dalam pelukanmu dan di luar terbangmu.
Membayangkan
tujuh kupu-kupu mulai menanamkan sayapnya
dan
menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama dengan
rute
sungai marne yang membelah mimpi-mimpimu
PROSES
LETUPAN KAPUR SIRIH
Batu
kapur sirih mulai direndam dengan air. Bentuk
bentuknya
yang seperti batu karang itu mulai
mengeluarkan
asap dalam genangan airnya, dan genangan
uap
di atasnya. Bentuk-bentuknya mulai luruh, seperti
bukit-bukit
melelah dan letupan-letupannya. Akan muncul
permukaan
kapur yang sudah berubah menjadi lumpur
putih
dan lembutnya yang panas. Lumpur kapur dalam
gelembung-gelembung
berasap, suara mendidih dan
letupanya
menggenggam uap panas hingga ke ujung
lidahku.
Seperti akan nada yang meledak dalam lumpur
kapur
itu, dan mengusir bayangan hitam dari letupannya.
Proses
ini akan berhenti dan seluruh batu kapur berubah
menjadi
lumpur kapur putih kental. Uapnya menatap
dinding-dinding
bayangan hitam. Tangan dan kakiku
menggenggam
letupan-letupan uapnya. Dan lidah yang tertelan
bayangan
hitam.kapur ini panas. Kulit jari-jari tangan
biasanya
akan melepuh. Rasa perih dari kulit yang
mengelupas,
mengeluarkan kutu-kutu yang mati di
dalamnya.
Melepaskan jiwa yang tak bisa lagi terharu,
yang
terlalu percaya kepada ketukan pintu dan
membisukan
dering telfon. Proses yang menggodaku untuk
mengangkat
kamar tidur dan meletakkannya dalam amplop
surat
bersegel. Pekerjaan yang rasanya tidak ada gunanya,
tetapi
aku melihat proses letupannya ketika melepaskan
tekanan
udara panas. Mulut puisi yang memuntahkan
percakapan
tentang kepergian. Kamar tidur yang
menyimpan
bayangan tentang pelukan dan terhisap letupan
kapur
sirih. Satu botol bayangan pintu. Satu botol kapur
sirih.
Keduanya mengecat mimpiku menjadi sebelum
bermimpi
(Koran
Tempo, 25 Maret 2012)