SI PENGUNJUNG FANA
: Iman Budhi Santosa
/1/
Selalu kau bandingkan gang-gang sempit di Malioboro
Dengan centang perenang rute nasib di galur-galur telapak tanganmu
Engkaulah burung yang berakhir
Jauh dari rindang sarang dan kelepak sayap langit
Dengan lentera Diogenes kau mencari-cari manusia
Puluhan tahun menelusuri belantara kota-kota, sungai, gua-gua
Yang kau temukan cuma sajak-sajak semata wayang,
Rangka jung tua yang terdampar, dan guci retak dari si pengunjung fana
Karena jenuh dengan seluruh jalan, akhirnya kau berhenti
Dan menjelma bentangan jalan itu sendiri
/2/
Kau lemparkan dirimu kedalam rebakan air hayat yang bergetar
Menimbulkan lingkaran-lingkaran riak kehadiran yang tak berbatas
Berpotongan dan bersilangan melahirkan aneka ciptaan baru
Bila lingkaran-lingkaran itu diperbesar, ia akan seluas jagat raya
Bila lingkaran-lingkaran itu diperkecil, ia akan menjadi inti dirimu
Maka teluk yang menganga dalam rongga sajak-sajakmu
Menampung ledakan makna segala pengalaman dunia—
Bak seberkas bara air yang menyamudra
/3/
Telah kau sebrangi jembatan yang jauh
Melengkung dari dirimu menuju dirimu
Kini kau tinggal di sebuah kota tak berpenghuni
Di mana pasir-pasir waktu yang kau genggam mendadak berhamburan—
Bagaikan pulau-pulau di pelupuk mata
Hujan yang jatuh, memantulkan hujan yang lain
Lelangkahmu di jalan ini, menggaungkan lelangkahmu di jalan yang lain—
Ibarat rembulan yang merenungkan cahayanya sendiri
Tak terdengar hempasan suara apa pun
Selain nyanyian purba yang membersit dari kerajaan masa kecilmu
Kau memandang lewat sorot mata matahari
Hingga pandanganmu menerangi dan memenuhi seluruh ruang
Di kota ini kau aman dan tersembunyi dari dirimu sendiri
Seperti seekor merpati yang selamat dari sapuan banjir yang lain
/4/
Kesendirian yang bening dan megah
Telah tegak di sini sejak permulaan kala
Seluruh kenangan berpendar bagai lampion-lampion malam
Engkau hanya memandangnya, tanpa tersentuh olehnya.
Ayunan air di antara pepohonan, halus dan hening,
Seperti melodi gerakan tangan dan kaki seorang bayi
Bak puisi yang kau rangkai dari batas-batas bahasa
Atas bawah, bolak balik, hingga membungkus seantero kota
Maka kota menjelma doa yang mekar
Merambati pohon awan
/5/
Jiwamu bermukim dalam jeda rahasia antara kata dan kata
Selengang kerlipan ruang antara bintang dan bintang
Kehadiranmu ringan dan kokoh laksana selembar bulu gunung
Bertiup dari keluasan ke keluasan sayup
Seluruh jalan berkayuh menuju jalanmu
Yang keemasan dan biru, bak bentangan gelombang Jalan Langit
Di kota ini kau membangunkan hari kedua
Dari tenunan benang ganda: kehidupan dan kematian
Mungkin kota ini hanya muncul sekejapan dari rimbunan kabut
Sebelum kefanaan jatuh bagaikan malam yang jatuh.
KOLAM
/1/
kolam adalah jantung dunia
mentari, bukit,
langit
semuanya utuh
tersimpan
dalam
bening
asalkan kau tak ada.
/2/
seekor unggas liar berenangan
sendiri
lebih besar
dan
lebih menjulang
dari pohon atau gunung manapun
lihat saja:
di sepasang bola matanya dunia naik
dan
turun
di antara dua kakinya langit membelah
dan
mengecil
sentakan
demi sentakan
riak
demi
riak
berkilauan
laksana jalan
mutiara
asalkan kau tak ada.
/3/
di kolam
segalanya terjaga
tak ada yang menua
di kolam
segalanya terbuka
bak jiwa rumputan
selalu berlimpahan
restuNya
asalkan kau tak ada.
/4/
tapi,
bila kau bersikeras datang
ke kolam itu
copotlah diri
dan tubuhmu
turunlah
turun
masukilah dasar sumur waktu
turunlah
turun
masukilah jantung duniamu
biarkan dirimu terlahir
kembali
di kuncup-kuncup cahaya
teratai
merekah merah
ataupun putih
dan menjadi beragam
bak suara kicauan
aneka burung
hutan.
/5/
di kolam
kau menjelma benih
kembali
ning
hening
seperti sepercik air
seperti janji
(Kompas, 18 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar