Senin, 26 Maret 2012

Puisi Taufik Ikram Jamil




KEPADA JAWA

mungkin kita jumpa lagi pada malam empat persegi
langsung saja bersalin terang dalam bayang
di antara remang-remang bumbung melayang
di samping embun menjingjing dingin
sambil melupakan rama dan sinta
yang berpagut peluk entah di mana
dan mengacuhkan kurawa maupun pundawa
saling berebutan entah untuk apa
betapapun kalimasada kita tatap
dengan seluruh pinta dan segenap harap

saya selalu rindu padamu katamu saat sua itu kelak
tapi engkau menjawabnya dengan kleningan gamelan
hingga aku terpancing untuk menjadi dalang
menghabiskan cerita ke puncak angin
kemudian melesat dalam lirik sinden
yang pada gilirannya meliuk dalam serimpi
dengan getar yang lebih besar dari merapi

sungguh ingin kusaksikan lagi
saat kau bentangkan rambutmu di pantai selatan
sedangkan kakimu di banyuwangi
dengan tangan terkulai di ujungkulon
bengawan solo melilit pinggangmu ramping
jemput aku bermain alun di muaranya

dan bagaikan homo erectus paleojavanicus
sekelip mata mengembara sampai eropa
tapi kau memangilku sebagai arjuna
dengan panah asmara yang sudah memiliki tuju

sempat lama bertatapan di dataran dieng
dengan ketinggian yang tak terpahami
menjadikan kita jadi begitu gelisah
lalu kuhumban pandangan ke kawah bromo
tapi kau mengiringinya dengan lengking
karena khawatir seperti gatotkaca
resah kita akan bertulang baja berkulit besi
kokoh bagai borobudur dan kalasan sekaligus
lalu dengan gusar kau lari menghindar
hinggap tersingkap betismu pada bunting
yang jangan-jangan membuat iri dewi sri
untunglah aku sadar bahwa engkau bukan ken dedes
dan aku tak pula ken arok dengan dada membidang
kita akan terkenang babad tanah jawi
bergenggam ingat antara carik braja dengan adilangu
biarkan hj de graaf menggapai lupa
menadah serat pramono sidhi dengan hampa
ketika kala demi kala berlepas pergi
sebelum akhirnya kita sama-sama manangisi dara petak
sebab oleh kisah salah yang tak sudah-sudah
menjadi lahar yang dipendam empat puluh kepundan
dijinakkan laku berpuluh ribu tahun mengeram

di jepara yang kusebut kalingga kita berjumpa kelak
bukan hanya karena di sana sempat dipesan keranda
bagi raja ali haji yang berimbang nyawa di usia belia
tapi tempat pertama sua kitalah yang menjadi sebabnya
tanpa mengurangi rasa takzim kepada gersik dan tuban
menerima utusan khalifah usman dengan gempita
agar dapat menyadari diri sebagai manusia
sehingga mampu memahami makna syukur tanpa ukur
dan begitulah selanjutnya nafas terhela ke tanah aceh
di pajang dan demak dan mataram sampai tidore bertukar ukir
kemudian memenuhi armada pati unus mara ke Melaka
bahkan terhadap fatahillah dan ratu kalinyamat
disamping menyelinap dalam kitab-kitab kuning
menjadi santri bagi harga diri
juga meregang kekang kuda diponegoro
sebelum tiba saatnya mematut lidah di serantau riau
sampai menggiring soekarno-hatta di rengasdengklok
pun tak serak suara bersama bung tomo

betapa cepat waktu pergi
sementara datang bukan bagian dari dirinya


(Kompas, 25 Maret 2012)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar