KEPADA
JAWA
mungkin
kita jumpa lagi pada malam empat persegi
langsung
saja bersalin terang dalam bayang
di
antara remang-remang bumbung melayang
di
samping embun menjingjing dingin
sambil
melupakan rama dan sinta
yang
berpagut peluk entah di mana
dan
mengacuhkan kurawa maupun pundawa
saling
berebutan entah untuk apa
betapapun
kalimasada kita tatap
dengan
seluruh pinta dan segenap harap
saya
selalu rindu padamu katamu saat sua itu kelak
tapi
engkau menjawabnya dengan kleningan gamelan
hingga
aku terpancing untuk menjadi dalang
menghabiskan
cerita ke puncak angin
kemudian
melesat dalam lirik sinden
yang
pada gilirannya meliuk dalam serimpi
dengan
getar yang lebih besar dari merapi
sungguh
ingin kusaksikan lagi
saat
kau bentangkan rambutmu di pantai selatan
sedangkan
kakimu di banyuwangi
dengan
tangan terkulai di ujungkulon
bengawan
solo melilit pinggangmu ramping
jemput
aku bermain alun di muaranya
dan
bagaikan homo erectus paleojavanicus
sekelip
mata mengembara sampai eropa
tapi
kau memangilku sebagai arjuna
dengan
panah asmara yang sudah memiliki tuju
sempat
lama bertatapan di dataran dieng
dengan
ketinggian yang tak terpahami
menjadikan
kita jadi begitu gelisah
lalu
kuhumban pandangan ke kawah bromo
tapi
kau mengiringinya dengan lengking
karena
khawatir seperti gatotkaca
resah
kita akan bertulang baja berkulit besi
kokoh
bagai borobudur dan kalasan sekaligus
lalu
dengan gusar kau lari menghindar
hinggap
tersingkap betismu pada bunting
yang
jangan-jangan membuat iri dewi sri
untunglah
aku sadar bahwa engkau bukan ken dedes
dan
aku tak pula ken arok dengan dada membidang
kita
akan terkenang babad tanah jawi
bergenggam
ingat antara carik braja dengan adilangu
biarkan
hj de graaf menggapai lupa
menadah
serat pramono sidhi dengan hampa
ketika
kala demi kala berlepas pergi
sebelum
akhirnya kita sama-sama manangisi dara petak
sebab
oleh kisah salah yang tak sudah-sudah
menjadi
lahar yang dipendam empat puluh kepundan
dijinakkan
laku berpuluh ribu tahun mengeram
di
jepara yang kusebut kalingga kita berjumpa kelak
bukan
hanya karena di sana sempat dipesan keranda
bagi
raja ali haji yang berimbang nyawa di usia belia
tapi
tempat pertama sua kitalah yang menjadi sebabnya
tanpa
mengurangi rasa takzim kepada gersik dan tuban
menerima
utusan khalifah usman dengan gempita
agar
dapat menyadari diri sebagai manusia
sehingga
mampu memahami makna syukur tanpa ukur
dan
begitulah selanjutnya nafas terhela ke tanah aceh
di
pajang dan demak dan mataram sampai tidore bertukar ukir
kemudian
memenuhi armada pati unus mara ke Melaka
bahkan
terhadap fatahillah dan ratu kalinyamat
disamping
menyelinap dalam kitab-kitab kuning
menjadi
santri bagi harga diri
juga
meregang kekang kuda diponegoro
sebelum
tiba saatnya mematut lidah di serantau riau
sampai
menggiring soekarno-hatta di rengasdengklok
pun
tak serak suara bersama bung tomo
betapa
cepat waktu pergi
sementara
datang bukan bagian dari dirinya
(Kompas, 25 Maret 2012)
(Kompas, 25 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar