KUTUKAN SRENGGI
Ponselku
kini sepi. Tak ada sms yang menggetarkan lagi.
Pagi
ini aku merapal kembali kalimat lawas itu. Tak perlu
kau
mengutuk kesepianku, Srenggi. Menara setinggi apa
lagi
yang musti kubangun. Ia bisa sembunyi --selalu--
pada
sesuatu yang paling dekat denganmu. Sesuatu yang
paling
tak kau kira. Sesuatu yang paling kau cinta. Di
sanalah
kesepian bermula. Bagai ular kecil yang akan
mencokot
lehermu. Dan segera: kamu bukan apa-apa
Jogja, 2010
SEPASANG ARCA
seketika
kita menjelma arca
berpelukan
di tengah gunung
menunggu
peziarah
yang
datang tak tentu
kita
tak bergerak ke mana pun
sementara
tahun
ajek
menggugurkan daun-daun
jalan
sudah kadung kau lipat rapi
dan
bakar di sebuah malam
masa
depan tinggal asap
yang
sekejap hilang
muksa
dibawa lari angin
jadi
di sinilah kita
meminta
waktu
menebalkan
kulit
dengan
lumut dan debu
Jogja, 2012
MUSTAKAWENI
ia
memutuskan menyamar menjadi lelaki
--dengan
sayap tumbuh di punggungnya
tak
lupa ia pasang bintang di dadanya
menutup
sepasang payudara yang menggoda
sebelum
berangkat ia berkaca mematut tubuh
dan
menyadari kumis belumlah tumbuh
di
atas bibirnya yang merah jambu
tergesa
ia oleskan minyak kelapa
pada
belati dan dibakarnya menjadi telaga
kini
kumis yang tebal hitam berkilat
sudah
melintang dengan garang
di
atas bibirnya yang merah jambu
saatnya
terbang membalas seluruh kehilangan
menang
atau kalah biarlah dalang yang mengabarkan
ia
hanya perlu menjaga kumisnya tak luntur oleh hujan
Jogja, 2011
SELO BLEKITHI
puisi
ini kecil saja
seperti
semut yang berarak
melintasi
punggung
batu-batu
gunung
tapi
seluruh dalang akan merapalnya
di
tengah malam
menjelang
hari pemberangkatan itu
dan
saat rampogan itu bergetar di layar
kita
tahu, diam-diam, siapa yang sesungguhnya bergetar
tak
penting lagi siapa kalah siapa menang
barisan
rapi semut itu bergerak tenang
menuju
dadamu yang lengang
tambur
perang hanyalah lagu sedih di kejauhan
terdengar
sesekali. pun lirih sekali
Jogja, 2011
SAMADI
Berdiam
di rumahmu
seperti
berdiam di dalam tubuhmu
(Sesepi
inikah kamu)
Angin
mati di beranda
terguling
bersama kucing-kucing
Waktunya
merayap di dinding
melahapnya
menjadi kenangan
Berkeping-keping
Dan
aku cuma Ciptoning
Sendirian
aku berkelana
menyusuri
ruang-ruanng tubuhmu
membaca
benda-benda
yang
tumbuh di sana
(Jadi
begini kamu menata sepi?)
Bunga-bunga
kaca di ruang tamu
sedikit
memantulkan cahaya lampu
gerabah
kasongan menyimpan
kedinginanmu, boneka-boneka rusia
beranak
pinak diam-diam, botol
botol
kaca beraneka warna berisi air
matamu,
patung-patung bintang dari
keramik
berjajar menjaga
kesedihanmu,
dan sejumlah foto
yang
berusaha mengabadikan
peristiwa
Inilah
rumahmu yang demikian kamu cintai
Seperti
kamu mencintai tubuhmu sendiri
yang
menyimpan bau hutan Dandaka
di
mana Rama mengejar Kijang Kencana
Kini
aku beraa di sana
Duduk
di tempat kamu duduk
Menepi
di tempat kamu menepi
Menangis
di mana kamu biasa menangis
Jogja, 2011
ADANINGGAR
seberapa
kuat kau menolak cintaku
--yang
membuatku terbang melayang
melintasi
laut dan misterinya
kecantikan
macam apa yang kau butuhkan
saat
sudah kupasrahkan seluruh tubuhku
pada
perjalanan dan setiap kemungkinan
bernama
dirimu
selendangku
adalah pusakaku: talikentular
ia
sanggup mengikatmu
juga
menjerat leherku
dalam
kabut yang terbuat dari nafasmu
aku
tak tahu lagi saat yang tepat
untuk
berhenti mencintaimu
jadi
seberapa kuat kau menolak cintaku
sebesar
itulah cintaku kepadamu
Jogja, 2012
SINDEN
suaramu
menggambar rumah
yang
inggin sekali kutinggali
(seratus
meter persegi
dengan
taman kecil tersembunyi
di
bawah sebuah jendela)
suaramu—yang
terkumpul
dari
sejumlah museum sepi
yang
kerap kau singgahi –
tiba-tiba
hadir serupa kartu pos
dari
kawan lama
aku
seperti pernah mendengar suaramu, dulu
saat
demam kebanyakan bermain hujan
aku
seperti pernah mendengar suaramu, dulu
di
sebuah pertunjukan wayang
kini
sepanjang malam suaramu duduk simpuh
di
antara tukang gender dan tukang kendang
matanya
menatap tajam punggungku
seperti
membaca cerita yang akan kutulis
hingga
kita jatuh tertidur pada sebuah subuh
Jogja, 2012
(Kompas, 1 April 2012)