Senin, 26 Maret 2012

Puisi-Puisi Afrizal Malna





TAK ADA ARTINYA

Gema suaranya kembali lagi membuat dinding bunyi
Dari suaranya
Berdiri melingkar
Di depan bulatan penuh perangkap waktu
Jari-jari yang menggenggam tikus
Dan perangkapnya di belakang membuat makan malam
Seperti bayangan yang meninggalkan betuknya
Memecah, tertawa, kisah-kisah perang yang
Dimuntahkan kembali dari ketakutannya
Cermin yang menjadi buta ketika melihat
Diding di dalamnya
Dan selembar rambut di atas koran pagi
Air yang menyebrang di atas jembatan
Melintasi sungai
Melintasi tetesannya
Tanpa prasangka di hadapan daun kering yang
Menyimpahn gema dari
Hutannya

TAMU MISTERIUS

Sayang sekali puisi ini telah dihapus ketika aku akan
membacanya. Seperti udara lembab yang menarik lenganku
untuk memegang yang akan jatuh. Ada apa dengan menghapus?
Lem, gunting, benang yang membuat bayangan tentang kawat
berduri. Aku menghapus kata hapus dari dokumentasi, seperti
keluar dari kawat berduri itu. kembali ke lem, gunting, benang
dari setiap kata untuk menyembunyikannya, menghilangkan dan
menghapusnya sekali lagi. Dan sebuah ketukan tak pernah
terhapus

Tamu itu menduga aku tidak memiliki kursi untuk mati, jika
tidak memiliki lantai untuk hidup. Menunggu. Ditunggu. Janji
jam tujuh malam. Ia suguhkan kata penghapus dari sebuah toko
buku kepada tamunya, seperti bayangan yang terlepas dari
tempatnya. Kamu tamuku yang aku tunggu dari kesalahan
mengetik kata hapus dari sebuah cerita tentang pagi hari
yang cerah. Kau sudah tidak sempat lagi merapikan yang tidak
bisa lagi dihapus, setelah puisi ini. penghapusnya membuat jam
5 sore, tembus hingga tak terlihat lagi kekosongannya



SURAT DARI BIJI KOPI

Bau kopi keluar dari napasnya, seperti jalan lurus yang
bagian belakangnya menghilang. Ia duduk di bagian
belakang dari bau kopi itu. Biji-biji kopi itu membuatnya
Ingin bergerak, antara air yang mendidih dan suhu
yang tak terukur dalam pikirannya. Bau kopi ini untukmu
Menangis, dan membiarkan kenangan membuat bingkai
bingkainya sendiri pada sisa kopi di dasar cangkirnya. Dan
ia kembali duduk di bagian belakang bau kopi, sisa hangat
antara pahit dan manis di lidahnya. “Cinta”, dia seperti
ingin jatuh, telungkup dan menggenggam semua yang
berjatuhan dari biji-biji kopi. Kapal-kapal yang bergerak
sendiri mencari bau kopi, kuburan petani kopi, cerita yang
saling mengunjungi dan menghapus pasir di pantai. Bau itu
mengikatnya lebih dalam dari semua yang mengabur di
depannya, dari semua yang menghilang di belakangnya

MENGGODA TUJUH KUPU-KUPU

Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur. orang di sini membawa beban berat. bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur.
Kita sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk
mengisinya kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata
tidur. Aku tidak berjalan dengan mata melek dan tidak
mengukur yang terlihat. Kau latihan yoga dan menjadi tujuh
kupu-kupu. Aku melihat kau terbang dan tidak bisa ikut masuk
ke dalam kupu-kupumu. Keadaan seperti gas padat dalam lemari
es. Tetapi tidak ada ledakan. Aku tidak mendengar suara
ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup menjadi mudah karena
memang hidup sudah tidak ada. menjadi benar oleh
kebohongan-kebohongan. Menjadi indah oleh kerusakan
kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar terbangmu.
Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan sayapnya
dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama dengan
rute sungai marne yang membelah mimpi-mimpimu




 PROSES LETUPAN KAPUR SIRIH

Batu kapur sirih mulai direndam dengan air. Bentuk
bentuknya yang seperti batu karang itu mulai
mengeluarkan asap dalam genangan airnya, dan genangan
uap di atasnya. Bentuk-bentuknya mulai luruh, seperti
bukit-bukit melelah dan letupan-letupannya. Akan muncul
permukaan kapur yang sudah berubah menjadi lumpur
putih dan lembutnya yang panas. Lumpur kapur dalam
gelembung-gelembung berasap, suara mendidih dan
letupanya menggenggam uap panas hingga ke ujung
lidahku. Seperti akan nada yang meledak dalam lumpur
kapur itu, dan mengusir bayangan hitam dari letupannya.
Proses ini akan berhenti dan seluruh batu kapur berubah
menjadi lumpur kapur putih kental. Uapnya menatap
dinding-dinding bayangan hitam. Tangan dan kakiku
menggenggam letupan-letupan uapnya. Dan lidah yang tertelan
bayangan hitam.kapur ini panas. Kulit jari-jari tangan
biasanya akan melepuh. Rasa perih dari kulit yang
mengelupas, mengeluarkan kutu-kutu yang mati di
dalamnya. Melepaskan jiwa yang tak bisa lagi terharu,
yang terlalu percaya kepada ketukan pintu dan
membisukan dering telfon. Proses yang menggodaku untuk
mengangkat kamar tidur dan meletakkannya dalam amplop
surat bersegel. Pekerjaan yang rasanya tidak ada gunanya,
tetapi aku melihat proses letupannya ketika melepaskan
tekanan udara panas. Mulut puisi yang memuntahkan
percakapan tentang kepergian. Kamar tidur yang
menyimpan bayangan tentang pelukan dan terhisap letupan
kapur sirih. Satu botol bayangan pintu. Satu botol kapur
sirih. Keduanya mengecat mimpiku menjadi sebelum
bermimpi   


(Koran Tempo, 25 Maret 2012)



3 komentar: